Pasal Penipuan Arisan Online
Pasal 372 KUHP – Penggelapan dalam Jabatan
Meskipun tidak sepenuhnya masuk dalam kategori penipuan, pasal ini mengatur tentang penggelapan yang berkaitan dengan jabatan atau kepercayaan, yang seringkali juga disertai dengan tindakan penipuan. Isi Pasal 372 KUHP:
“Barang siapa yang dengan sengaja menggelapkan barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang dipercayakan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Penjelasan: Pasal ini berkaitan dengan penggelapan yang sering terjadi dalam konteks pekerjaan atau jabatan. Meskipun bukan penipuan dalam arti yang luas, penggelapan ini bisa melibatkan manipulasi atau kebohongan terkait harta yang dikelola.
Pasal 264 KUHP – Pemalsuan Dokumen untuk Penipuan
Pasal 264 KUHP mengatur tentang pemalsuan dokumen yang digunakan dalam rangka penipuan atau untuk memperoleh keuntungan secara ilegal. Isi Pasal 264 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan sengaja memalsukan dokumen atau surat, yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti atau alat transaksi yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Penjelasan: Pasal ini berfokus pada pemalsuan dokumen yang digunakan untuk tujuan penipuan. Pemalsuan dokumen dapat mencakup surat perjanjian, akta otentik, atau dokumen resmi lainnya yang digunakan untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.
Bisakah Orang yang “Merekomendasikan” Penipu ikut Dipidana?
Menjawab pertanyaan Anda, atas kasus penipuan yang dialami, kami menilai bahwa ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Sebagaimana dijelaskan dalam Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan dalam Penolakan Perpanjangan Sewa, dalam hukum pidana dikenal dengan adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Asas ini bermakna bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.
Dapat dikatakan bahwa asas ini menjadi dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, dalam hal ini pertanggungjawaban pidana.
Pasal 386 KUHP – Penipuan dalam Transaksi Perdagangan
Pasal 386 KUHP mengatur tentang penipuan yang terjadi dalam konteks transaksi perdagangan, seperti penjualan barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan atau penipuan terkait kualitas barang. Isi Pasal 386 KUHP:
“Barang siapa dalam transaksi perdagangan, dengan sengaja mengelabui pihak lain untuk membeli atau menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Penjelasan: Pasal ini memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan penipuan dalam perdagangan, seperti menjual barang palsu, barang dengan kualitas yang lebih rendah dari yang dijanjikan, atau menggunakan informasi yang menyesatkan.
Pasal tentang Penipuan Online
Pada dasarnya, penipuan online merupakan tindak pidana yang sama dengan penipuan konvensional yang diatur baik dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (“RKUHP”) yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2025 mendatang.
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta, penjual yang menipu pembeli:
Hanya saja, yang menjadi pembedanya adalah media yang digunakan. Menurut Asril Sitompul, penipuan online dalam e-commerce merupakan penipuan yang menggunakan internet untuk keperluan bisnis dan perdagangan sehingga tidak lagi mengandalkan basis perusahaan yang bersifat konvensional dan nyata.
Adapun UU ITE dan perubahannya tidak mengatur eksplisit mengenai penipuan online. Berikut ini bunyi Pasal 28 ayat (1) UU ITE yaitu setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Namun untuk menentukan apakah seseorang melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE atau tidak, terdapat beberapa pedoman implementasi yang harus diperhatikan sebagai berikut.
Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Penipuan dalam Hukum Pidana Indonesia
Penipuan merupakan salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana pelaku mencoba untuk memperoleh keuntungan dengan cara menipu atau membujuk seseorang untuk menyerahkan sesuatu yang berharga. Dalam sistem hukum Indonesia, penipuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memberikan sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melakukan penipuan. Berikut ini adalah beberapa pasal yang mengatur tentang penipuan dalam hukum pidana Indonesia.
Bentuk Penipuan Online
Dalam kasus penipuan online, kerugian tidak hanya dirasakan konsumen saja, melainkan juga pelaku usaha. Berikut adalah beberapa bentuk penipuan online dalam bidang jual beli yang lazim terjadi:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran keempat artikel dengan judul Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan dalam Jual Beli Online yang dibuat oleh Adi Condro Bawono, S.H., M.H., yang dipublikasikan pertama kali pada Senin, 16 Januari 2012, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Sovia Hasanah, S.H., pada Selasa, 9 Oktober 2018, kedua kalinya pada Kamis, 22 Juli 2021, dan ketiga kalinya oleh Erizka Permatasari, S.H. pada Rabu, 6 Juli 2022.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan RKUHP yang baru disahkan pada tanggal 6 Desember 2022.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal Apa yang Dipakai?
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa rumusan-rumusan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024, Pasal 378 KUHP, dan Pasal 492 UU 1/2023 mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 UU 1/2023 mengatur tentang tindak pidana penipuan, sementara itu Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 mengatur tentang perbuatan menyebarkan berita bohong/informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam transaksi elektronik, misalnya transaksi perdagangan daring .
Walaupun demikian, tindak pidana dalam UU 1/2024, KUHP, dan UU 1/2023 tersebut memiliki suatu kesamaan, yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 tidak mensyaratkan adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP maupun Pasal 492 UU 1/2023.
Jadi, pelaku penipuan tiket konser musik dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, akan tetapi dapat juga dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 apabila penipuan dilakukan secara online.
Kemudian menjawab pertanyaan Anda pasal mana yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku penipuan jual beli tiket online, maka bergantung pada pihak penegak hukum untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, dan kapan harus menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 . Namun, pada praktiknya, pihak penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana UU 1/2024. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif.
Baca juga: Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya
Merujuk pada artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan, dijelaskan bahwa dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada Putusan PN Sleman 570/Pid.Sus/2017/PN SMN. Dalam kasus ini, terdakwa menipu korbannya dengan mengadakan promo tiket pesawat palsu secara online. Karena tergiur promosi tersebut, akhirnya korban membeli tiket pesawat melalui terdakwa. Penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif. Pada dakwaan kesatu menggunakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016. Sedangkan pada dakwaan kedua, penuntut umum menggunakan Pasal 378 KUHP.
Namun, pada putusannya, hakim memutus terdakwa dengan sanksi pidana penjara selama 11 bulan dan denda sebesar Rp5 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 1 bulan karena telah melakukan tindak pidana menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016.
Jadi berdasarkan uraian di atas sekaligus menjawab pertanyaan Anda tentang kasus menjual tiket konser musik online, pada praktiknya Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023 dan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 dapat digunakan untuk menjerat pelaku penipuan online. Namun demikian, pada akhirnya hakimlah yang menentukan hukuman pidana apa yang dijatuhkan pada pelaku.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986.
Putusan PN Sleman 570/Pid.Sus/2017/PN SMN, diakses pada Rabu, 26 Juni 2024, pukul 08.23 WIB.
[2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023
Perbedaan Pasal Penipuan dan Penggelapan
Lantas, menjawab pertanyaan Anda, apa perbedaan penipuan dan penggelapan? Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami merangkum perbedaan pasal penggelapan dan penipuan dalam bentuk tabel berikut.
Sedari awal, pelaku membujuk korban untuk menyerahkan atau memberikan barang. Penipuan baru selesai saat korban menyerahkan barang sebagaimana dikehendaki pelaku.